Pengamat Kritisi RAPBN 2018, Dari Soal Pajak Hingga Bansos
Jakarta - Rancangan Anggaran dan Penerimaan Negara (RAPBN) 2018 dinilai tidak realistis. Dari sisi target penerimaan pajak sampai belanja infrastruktur dan pertolongan sosial.
Para peneliti dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) anggap asumsi pemerintah masih ambisius. Ada sejumlah poin yang menjadi catatan.
Dari sisi penerimaan, target pendapatan negara 2018 yang sebesar Rp 1.894,7 triliun atau meningkat 9,14% dibanding tahun 2017 masih dinilai realistis. Namun, seiring dengan realisasi penerimaan pajak sampai September 2017 gres berkisar 60%.
"Jadi jika kemudian, nanti di tamat 2017 tidak tercapai 100%. Ada peluang di 2018 penerimaan pajak tak terealisasi target," kata peneliti dari INDEF, Eko Listiyanto, di Jakarta, Rabu (18/10/2017).
Mulai masuknya tahun politik di 2018 juga dinilai mensugesti penerimaan di 2017. Pasalnya, kegiatan politik yang tak menentu mampu membuat dunia usaha belum mampu menentukan sikap.
"Adanya ketidakpastian yang meningkat, implikasinya pengusaha akan menunggu, wait and see," katanya.
Selain itu, di 2018 nanti, pemerintah juga sudah tidak mampu lagi mengandalkan acara pengampunan pajak atau tax amnesty seperti tahun ini.
"Jadi tidak mampu berharap ada kebijakan, walaupun kita lihat tax amnesty lalu itu juga tidak berhasil, sebab target pajak masih jauh dari realisasi. Itu menggambarkan tujuan tax amnesty hanya untuk meningkatkan penerimaan jangka pendek," jelasnya.
Sementara dari sisi belanja, teladan lima tahun lalu juga dimungkinkan akan kembali. Di mana belanja sosial mengalami peningkatan.
Peneliti INDEF lainnya, Abdul Manap Pulungan, memaparkan pada APBN 2009 belanja pertolongan sosial meningkat sebesar 27,8% dibanding tahun sebelumnya. Begitu juga dengan APBN 2013, sebelum pemilu terjadi peningkatan sebesar 21,8% dibanding APBN 2012 yang sebesar 6,3%.
"Menjelang Pemilu 2019, kata dia, belanja perlindungan sosial telah dimulai pada APBN 2017. Dalam perbandingan antara APBN-P 2016 dan APBN-P 2017, terdapat perbandingan kenaikan belanja perlindungan sosial sebesar 16,08%," terang Abdul Manap.
Selain itu, kata Abdul Manap, belanja infrastruktur pemerintah juga dinilai tidak terukur. Belanja pemerintah di sektor ini meningkat tajam selama 3 tahun terakhir, hal itu mengambarkan adanya upaya pemerintah menyebabkan APBN sebagai stimulus fiskal di tengah perlambatan ekonomi.
"Belanja infrastruktur yang jor-joran di tengah pendapatan pemerintah yang tertekan ini justru mampu menjadi buah simalakama," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, menambahkan pemerintah perlu melaksanakan aneka macam taktik untuk mampu mengejar target penerimaan di 2018. Salah satunya yakni dengan menyasar wajib pajak baru, serta membuat stimulus biar dunia usaha dapat bergerak.
"Jadi target penerimaan di RAPBN 2018 sangat ambisius, kenapa? Karena jika targetnya, jika kita melihat taktik dan arah kebijakan dari pajak kita ke depan tidak berubah formatnya, jadi yang terus menjadi objek, radar pajak, masih terbatas yang selama ini patuh," tuturnya.
"Kesimpulannya RAPBN 2018 memang tidak realistis, sebab memang juga bakal memasuki politik. Makara yang diharapkan sekarang yakni stimulus fiskal. Stimulus fiskal ini selalu diterjemahkan pemerintah itu sebagai budget defisit, nah stigma itu yang harus diubah dulu. Kalau ingin membuktikan itu harus dengan kalkulasi yang betul-betul matang," jelasnya.
0 Response to "Pengamat Kritisi RAPBN 2018, Dari Soal Pajak Hingga Bansos"
Post a Comment