-->

RI Belum Cocok Terapkan Kewajiban Non Tunai di Tol, Ini Alasannya

RI Belum Cocok Terapkan Kewajiban Non Tunai di Tol, Ini AlasannyaFoto: Dok. Bank Mandiri

Jakarta - Dalam waktu seminggu ke depan, seluruh gerbang tol di Indonesia tak bakal lagi mendapatkan transaksi tunai.

Hal ini dilakukan demi sejumlah manfaat efisiensi ekonomi yang akan dirasakan, sekaligus mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang digalakkan oleh Bank Indonesia (BI).

Namun kebijakan ini sendiri dianggap muncul di waktu yang tidak tepat. Menurut pengamat ekonomi Institute For Economic and Development Finance (Indef) Bima Yudhistira, infrastruktur non tunai yang ada di Indonesia ketika ini belum mampu mengakomodir semua pihak untuk melaksanakan aktivitas ekonomi yang lebih efisien ibarat yang didambakan.

Pertama, kewajiban penggunaan kartu membuat masyarakat dibebankan untuk pembelian kartu perdana yang membutuhkan biaya sekitar Rp 20.000 di luar saldo.

Belum lagi pengisian ulang kartu di jumlah tertentu yang dibebankan biaya isi ulang. Menurutnya, angka tersebut akan menggerus kas masyarakat di tengah kondisi ekonomi masyarakat ketika ini, yang tingkat konsumsinya sedang tertahan (jika tak ingin disebut lesu).

"Masyarakat sekarang ini sedang mengalami kontraksi konsumsi. Terutama lapisan menengah ke bawah. Artinya kalau misalnya tetap dipaksakan dan karenanya harus beli kartu perdana dan top up juga dibebankan biaya, justru menjadi beban gres bagi masyarakat," kata beliau ketika ditemui di Gedung Wisma Antara, Jakarta, Senin (23/10/2017).

Angka ini bahkan mampu berdampak ke inflasi di masyarakat. Kebijakan penggunaan e-money bahkan berpotensi meningkatkan ketimpangan atau rente ekonomi.

Pasalnya, Indef mencatat, di ketika sektor riil mengalami penurunan, sektor jasa keuangan justru mengalami kenaikan pertumbuhan yang cukup tinggi, sehingga ada indikasi ketimpangan sektor keuangan dan riil.

Contohnya, pendapatan bank penerbit uang elektronik mampu mencapai ratusan miliar sampai triliun rupiah per tahunnya, baik yang berasal dari biaya kartu perdana Rp 20 ribu per keping, dan isi ulang Rp 1.500 per transaksi.

Jika dihitung dari rata-rata pertumbuhan jumlah kartu gres per tahun sekitar 18 juta keping kartu (data Bank Indonesia), maka ada sekitar Rp 360 miliar yang dihasilkan dari penjualan kartu perdana.

Belum lagi transaksi top up, dari 69 juta unit kartu yang beredar, maka kalau dikalikan biaya top up Rp 1.500 per bulan, pendapatan dari top up mencapai Rp 1,24 triliun per tahun.

"Memang biaya tol dan bensinnya enggak berubah, tapi ada pungutan sekecil apapun pasti akan ada implikasi ke inflasi, yang nanti datang dari beban bayar kartu perdana ke konsumen. Kaprikornus bukan kita makin efisien, tapi justru menambah beban biaya baru," tutur Bima.

Kebijakan penggunaan e-money di Indonesia sendiri kata beliau masih jauh dari kata best practice ibarat yang diterapkan di negara-negara lain. Seharusnya dengan penggunaan e-money, masyarakat justru diberi lebih banyak insentif dan kemudahan.

Lagi pula, kalau dilihat dari selisih kemacetannya sendiri, masyarakat juga dirasa tak terlalu dirugikan dengan kondisi ketika ini. Dengan pemberian insan di gardu tol, maka selisih waktu gardu manual dan otomatis diperhitungkan hanya sekitar 6 detik.

Seperti akomodasi masyarakat untuk melaksanakan pengembalian dana (refund), usulan banyak sekali diskon kalau menggunakan e-money, biaya kartu yang disubsidi atau gratis, tidak dikenakan top up fee sampai sistem transportasi yang terintegrasi. Sementara fakta di Indonesia ketika ini masih jauh dari itu.

"Di Nigeria, di China, dan negara lain ibarat Singapura, Malaysia dan Thailand semuanya non tunai itu diberikan stimulus. Artinya ada dorongan buat masyarakat untuk pindah. Contohnya kalau pakai non tunai ada banyak diskon, tidak perlu antre, transaksi mampu lebih cepat. Tapi kalau sekarang yang kita lihat, konsep gerakan nasional non tunai belum ke arah sana. Kaprikornus masih sekedar pemaksaan," ungkap Bima.

Jika pun harus menggunakan kartu, setidaknya hal-hal tersebut di atas harus mampu diakomodir. Sementara kalau tak menggunakan kartu, infrastruktur teknologi non tunai yang ada masih belum siap.

"Kalau kita lihat technological readiness kita masih jauh tertinggal. Contohnya kalau di Afrika, itu e-money nya semua sudah dalam bentuk mobile apps. Di China 54% orang sudah pakai WePay atau AliPay. Transaksi tunainya sudah mulai ditinggalkan pakai QR Code," paparnya.

"Nah kita di sini masih membahas kartu fisik. Dan kartu fisik itu investasi pengadaan kartunya, cetaknya, alatnya, reader atau EDC nya sangat mahal. Nah itu karenanya dibebankan ke konsumen dalam bentuk top up. Akhirnya konsumen bukan mendapatkan stimulus, tapi justru dibebankan biaya investasi yang mahal," imbuh Bima.

Untuk itu, beliau menyarankan pemerintah sebaiknya menunda terlebih dahulu kewajiban transaksi non tunai di tol, setidaknya dalam waktu sampai 5 bulan ke depan untuk mempersiapkan sebenar-benarnya infrastruktur yang handal tadi.

Selain itu, untuk mengurangi PHK dari dampak kebijakan ini, beliau berharap masih ada 1 gardu tunai yang menyediakan tenaga insan di gerbangnya.

"Karena kalau dasarnya yakni soal efisiensi dan tidak ada kemacetan, nyatanya enggak ya. Artinya alasannya yakni harus rasional. Lalu, kita juga minta transparansi, berapa sih biaya investasi mesin EDC, pencetakan kartu dan lainnya yang ditanggung perbankan atau Jasa Marga, sehingga masyarakat transparan, walaupun top up cuma Rp 1.500 misalnya, itu mampu dipertanggung jawabkan," pungkasnya.

0 Response to "RI Belum Cocok Terapkan Kewajiban Non Tunai di Tol, Ini Alasannya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel